Penghijauan Lingkungan Sebagai Solusi Utama Agar Jakarta Tidak Terkena Banjir Besar Lagi
Banjir Besar Jakarta telah terjadi pada tahun 2002, 2007, dan kalau mengikuti siklus lima tahunan banjir besar akan terjadi lagi tahun 2012. Namun pada kenyataannya pada tahun 2008 juga terjadi dan memang terjadi lagi di tahun 2010 ini, sehingga siklusnya maju menjadi dua tahunan. Kampung Pulo sempat banjir sampai 3 meter dan merupakan areal terparah banjir Jakarta tahun ini. Banjir terjadi akibat pintu air Manggarai tidak sanggup menerima limpahan banjir kiriman dari areal hulu Bopunjur (Bogor, Puncak dan Cianjur) via pintu air Katulampa. Kesemua banjir tersebut diawali dengan hujan lebat malam dan dini hari kadang berlanjut hingga pagi hari di daerah hulu, dan akan semakin parah menjadi banjir besar, jika ditambah hujan yang terus menerus secara lokal di Jakarta. (Lihat artikel Waspadai Banjir Besar Jakarta: Antara Prediksi BMKG dan Ramalan Mama Lauren)
Dibutuhkan kebijakan yang serius, menyeluruh dalam arti tidak setengah-setengah untuk mengatasi banjir di Jakarta ini, selain letak geografisnya yang memang kurang menguntungkan karena berada di dataran rendah dekat pantai, masih banyak hal yang menyebabkan terjadinya banjir di Ibu Kota Jakarta.
Namun pasti ada solusi untuk mengatasi masalah banjir yang terus berulang, bukan hanya lima tahunan menjadi dua tahunan dan jangan sampai menjadi acara tahunan yang sungguh memalukan, mengingat posisi Jakarta yang sangat strategis sebagai Ibu kota Negara dan pintu gerbang utama Indonesia. Pada peristiwa banjir besar Jakarta yang lalu, kegiatan ekonomi ibukota nyaris lumpuh total. Jalan tol Bandara Sukarno Hatta pun tak terhindar dari banjir yang mengakibatkan jadwal penerbangan jadi turut banyak yang dibatalkan. Penghijauan Lingkungan adalah solusi utama untuk mengatasi banjir besar Jakarta agar tidak terus terulang lagi dan terulang lagi.
Penghijauan Lingkungan sebagai area resapan air dan paru-paru kota.
Untuk mendukung habitat lingkungan perkotaan, menurut PBB, idealnya disediakan ruang terbuka hijau sekitar 30 % dari luas kota yang bersangkutan. Kota Jakarta sekarang ini hanya memiliki ruang terbuka hijau tidak lebih dari 10 %. Minimnya area resapan air mengakibatkan aliran air hujan di permukaan tanah akhirnya akan menggenang dan menimbulkan banjir.
Selain berfungsi sebagai area resapan air dan ruang interaksi sosial, ruang terbuka hijau ini semakin penting artinya dalam mendukung program ‘Go Green’ dalam rangka mengatasi Pemanasan Global (Global Warming) dan Perubahan Iklim ( Climate Change) yang dialami Bumi kita, sekarang ini. Selain itu juga penghijauan berperan sebagai paru-paru kota dan menyerap polusi udara terutama gas emisi CO2 yang konsentrasinya semakin menumpuk di atmosfer Bumi membentuk lapisan yang menyebabkan suhu di Bumi semakin panas.
Hutan dan taman kota seperti di Monas dan taman lingkungan seperti Taman Menteng dan yang lainnya, sangat diperlukan bahkan diperbanyak agar penghijauan di Kota Jakarta mencapai prosentase ideal atau setidaknya mendekati ideal angka 30 %.
Kebijaksanaan Ancol mengubah lapangan golf seluas 33,6 ha menjadi wahana “Ecopark” demi mewujudkan ‘Green Ancol’ pastinya lebih bermanfaat secara lingkungan. Hari Rabu (24/02) pagi, para siswa sekolah dasar di sekitar Ancol yang berjumlah ratusan murid dikerahkan untuk target menanam 10.000 pohon. Kegiatan ramah lingkungan semacam ini patut didukung dan kita apresiasi.
Di bekas lapangan golf ini, segera dibangun wahana ecopark yang berbasis edutainment. Ecopark akan dilengkapi berbagai sarana yang bisa dimanfaatkan bagi pendidikan lingkungan hidup, seperti taman flora, fauna, dan fasilitas multifungsi untuk permainan petualangan di lahan terbuka (sumber berita Kompas cetak 25/02/2010 halaman 25).
Kembalikan penyimpangan peruntukan dan penggunaan lahan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai areal terbuka hijau.
Penyempitan alur sungai akibat bantarannya banyak digunakan untuk permukiman penduduk juga menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir. Idealnya, lahan di sepanjang DAS ini ditertibkan dan peruntukannya dikembalikan sebagai jalur areal terbuka hijau minimal 5 meter ditambah jalan inspeksi untuk perawatan sungai dan penghijauan agar tetap berfungsi secara optimal. Penanaman pohon peneduh dan rumpun bambu bisa dipertimbangkan, mengingat pohon jenis ini sangat potensial untuk berfotosintesis sekaligus menangkap emisi CO2 di udara, dikarenakan penanaman bambu seluas satu juta are akan mengurangi hingga 4,8 juta ton emisi CO2 per tahun. *)
Dengan melakukan ini, otomatis ruang terbuka hijau di Jakarta akan bertambah secara signifikan. Sebaiknya penertiban dilakukan secara manusiawi dan terencana, setelah disediakan area pemukiman baru pengganti, seperti rumah susun bersubsidi yang bisa dicicil oleh warga, khususnya mantan warga penghuni sekitar bantaran sungai. Areal pemukiman baru pengganti ini pun harus menyediakan areal terbuka hijau agar tetap sehat dan nyaman dihuni.
Hijaukan ruang terbuka di sekitar Danau Buatan Kanal Banjir Barat (KBB) dan Kanal Banjir Timur (KBT).
Penghijauan di sepanjang DAS Ciliwung, memang sangat mendesak dan harus segera dilakukan, demikian pula dengan penghijauan di sekitar KBB dan KBT juga harus dijadikan areal terbuka hijau yang bisa meningkatkan daya serap air hujan. Jika dalam penerapannya ditata dengan baik menjadi taman ditambah jalur pejalan kaki (jogging track) untuk olahraga, tentunya sangat indah dan nyaman serta meningkatkan kualitas udara lingkungan sekitar.
Khusus KBB dan KBT, jika hutan kota disekitarnya bisa dibuat terencana dengan baik, bisa dijadikan obyek rekreasi hijau alternatif yang sangat menyehatkan bagi warga Jakarta.
Koordinasi dengan penataan penghijauan lingkungan hutan pada daerah hulu Bopunjur.Kondisi Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) sebagai daerah resapan air yang telah mengalami banyak perubahan fisik terutama akibat penyimpangan dalam peruntukkan lahan, berperan besar memicu aliran air hujan yang nyaris seluruhnya bisa masuk dan tumpah mengalir ke Jakarta. Banyak pohon-pohon besar di hutan hulu Sungai Ciliwung ditebang dan dikorbankan untuk dijadikan rumah peristirahatan, bangunan lain atau pun peruntukan lainnya. Idealnya penghijauan yang harus dijaga kelestariannya pada areal hulu ini minimal 30 persen, namun kenyataannya sekarang banyak yang rusak dan berubah fungsi. Oleh karena itu, penghijauan hutan kembali di areal hulu Ciliwung ini adalah mutlak harus dilakukan, agar daya resap air hujan semakin optimal serta tidak langsung masuk ke areal sungai.
Hal yang mendesak lainnya adalah dicari solusi agar air hujan terutama dengan kapasitas curah yang tinggi, dapat ditahan atau ditunda alirannya jangan langsung sekaligus tumpah ke Pintu Air Katulampa. Salah satunya dengan cara membuat ‘danau buatan’ sebagai penampung air dengan kapasitas memadai dengan lokasi sebelum masuk ke Katulampa. Danau buatan semacam banjir kanal ini berfungsi sebagai filter agar tidak semua air hujan di areal Bopunjur tumpah langsung ke Katulampa. Proyek ini bisa segera direalisasikan dengan kerjasama antar gubernur bahkan sampai tingkat kementerian karena sudah menyangkut Ibukota Negara. Peran swasta khususnya perusahaan besar di Jakarta untuk turut serta membiayai tentunya sangat diharapkan, agar masalah banjir bisa diatasi secara tuntas.
Kegiatan penghijauan hutan hulu Ciliwung dengan menanam 4 ribu pohon yang dilaksanakan Nokia (Program Nokia Give & Grow) bekerja sama dengan TES-AMM Indonesia dan WWF Indonesia patut diacungi jempol. Hal ini merupakan aksi nyata dari peran kepedulian perusahaan swasta atas masalah lingkungan yang terjadi di Jakarta sebagai ibukota Negara.
Aksi hijau penanaman pohon mulai dilakukan di area hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, desa Cikoneng, Cisarua, Bogor pada awal Februari ini dengan luasi areal sekitar 10 ha. Aksi hijau dengan cara menukar HP bekas dengan tanam pohon ini mempunyai manfaat langsung dalam mencegah terjadinya banjir di Jakarta.
Perluas Areal Penghijauan Mangrove.
Perlunya ditinjau lagi Amdal dari kebijakan reklamasi pantai di Utara kota Jakarta, terutama yang menggusur areal hutan bakau (Mangrove) yang sangat berperan menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang ada di sepanjang pantai utara Jakarta.
Hutan bakau merupakan perisai alam utama untuk menghadapi badai dan kenaikan muka air laut (Rob). Oleh karena itu penanaman kembali Mangrove, sangat mendesak dilakukan, khususnya dalam rangka mengatasi masalah banjir di Jakarta.
‘Green Building’ dan Sumur Resapan sebagai solusi ramah lingkungan.
Penerapan ‘green building’ pada Ibukota Jakarta, khususnya pada bangunan perkantoran baik pemerintah mau pun swasta, jika perlu juga diterapkan pada perumahan warga-nya. Pada ‘bangunan hijau’ ramah lingkungan ini, sumber energi menggunakan energi terbarukan dari alam seperti panel matahari atau kincir angin. Hemat energi dan air diterapkan pada operasional sehari-hari. Pada halaman dan dak atap bangunan bisa diolah menjadi taman dengan berbagai tanaman untuk menciptakan lingkungan hijau.
Karena menurut penelitian ahli lingkungan dunia:
Bila satu juta atap rumah ditanami tumbuhan, 595.000 ton CO2 per tahun dapat dikurangi.
Pemasangan 100.000 turbin angin skala rumah tangga akan mengurangi 900.000 ton CO2 per tahun.
Jika satu juta rumah menggunakan sel surya untuk sumber energinya, kita bisa mengurangi emisi karbondioksida sebanyak 4,3 juta ton per tahun. *)
Kebijakan setiap bangunan di Jakarta memiliki sumur resapan masing-masing sangatlah positif dalam rangka mengatasi masalah banjir. Demikian pula partisipasi aktif masyarakat untuk membuat resapan air berupa biopori beserta penghijauannya di halaman rumah masing-masing sangat berdampak positif sebagai solusi mengatasi banjir, jika sebagian besar warga mau melakukannya.
Hal-hal lain yang juga sebaiknya dilakukan sebagai solusi mengatasi banjir adalah:
Perbaiki sistem drainase dan tempat penampungan air hujan.
Saluran air di wilayah kota Jakarta banyak yang tak lagi memadai dan bahkan sering diabaikan dalam menjaga fungsi yang semestinya akibat adanya kepentingan lain. Banyak saluran air yang ‘mampet’ karena banyak sampah dan tanah bekas galian beberapa instansi secara tumpang tindih dan silih berganti, sebentar ada galian untuk PAM terus PLN nantinya lagi telpon, sepertinya tidak ada koordinasi antar instansi di pemda.
Dengan kondisi ini, sistem drainase yang ada menjadi belum optimal dalam mendistribusikan air limbah dan air hujan yang datang. Jakarta berada pada dataran rendah, malah sebagian lebih rendah dari permukaan laut. Sehingga air pasang laut (Rob) juga menjadi ancaman serius. Oleh karena itu, memerlukan suatu sistem yang terintegrasi untuk mendisribusikan air buangan ini, terutama saat terjadinya hujan.
Kemudian 'situ' (semacam danau) yang dulu pernah ada dan berfungsi sebagai penampung air, kini sudah beralih fungsi menjadi komplek hunian baru dan bahkan hampir tidak ada lagi. Untuk menggantikan fungsi situ yang hilang, pembangunan Banjir Kanal memang harus dilakukan sebagai tempat penampungan air hujan yang baru dan harus sudah tembus sampai ke laut agar genangan banjir bisa disalurkan dengan segera.
Ubah perilaku buang sampah sembarangan.
Perilaku buruk buang sampah di jalan, tampaknya hanya sepele, tapi selanjutnya sampah tersebut bisa terbawa angin masuk selokan sampai di sungai dan pintu air dan sebagian lagi terbawa arus hingga sampailah ke laut. Sampah anorganik seperti berbagai jenis plastik, styrofoam, kemasan aluminum foil bekas makanan ringan, minuman dan sebagainya, sangat mudah terbawa arus air. Betapa menyedihkan, beberapa pintu air dan sungai di Jakarta seolah telah menjadi tempat pembuangan sampah terbesar. Pada setiap peristiwa banjir, sebagian besar dari sampah tersebut akan semakin cepat masuk ke sungai bahkan sampai ke laut.
Untuk diketahui sampah non organik seperti plastik baru bisa terurai setelah mencapai ratusan tahun dan mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem aneka satwa yang ada di sungai dan laut. Oleh karenanya perlu penyuluhan untuk meningkatkan budaya bersih di masing-masing lingkungan, terutama menyangkut perilaku buang sampah sembarangan ini.
Cegah penurunan permukaan tanah agar tidak meluas.
Terjadinya penurunan permukaan tanah di wilayah Jakarta terutama di bagian Barat dan Utara, terjadi akibat tanah yang belum padat dan gencarnya pembangunan fisik untuk perumahan/perkantoran ditambah tidak terkendalinya pembuatan sumur air yang disedot langsung dari tanah.
Akibat lainnya adalah masuk dan merembesnya air laut menyebabkan air tanah berubah menjadi asin dan tidak dapat diminum. Semua area yang mengalami penurunan permukaan tanah sudah pasti menjadi wilayah genangan banjir.
Cegah banjir besar dengan pembangunan dinding penahan banjir (dam).
Pembangunan proyek Banjir Kanal Timur (BKT) sejatinya berfungsi sebagai pelengkap Banjir Kanal Barat (BKB) dan diharapkan bisa berperan untuk menampung segala tumpahan air hujan terutama pada saat kritis dipuncak musim hujan. Pada kenyataannya saat puncak musim hujan kemarin, banjir tetap melanda Jakarta, padahal BKT sudah tembus ke laut. BKT tetap berfungsi terutama dalam hal mempercepat distribusi air banjir menuju laut. Sebaiknya berbagai pihak yang terkait dalam hal mencari solusi banjir, melakukan kajian kembali. Apakah semua akar permasalahan banjir seperti tersebut di atas sudah ditangani dan dikoordinasikan dengan baik atau belum sepenuhnya ?
Hal-hal tersebut di atas jika dilaksanakan dapat meminimalkan bencana terjadinya banjir. Secara makro kita bisa belajar dari Negara Belanda yang wilayahnya di bawah permukaan air laut tapi tetap mampu mengelolanya, agar tidak terjadi banjir.
Secara mikro, di saat Jakarta dilanda banjir besar tahun 2008 ada satu lingkungan di sekitar Muara Karang Pluit Jakarta Utara, yang biasanya selalu langganan banjir, bisa terhindar dari bencana ini, sementara Kelapa Gading dan sebagian besar areal Jakarta saat itu terkena banjir besar (Informasi ini didapat dari teman penulis yang kebetulan tinggal disana). Lalu, mengapa bisa ?
Ya… bisa dicegah !!! Karena seluruh warganya secara bahu membahu mau tahu dan mau bergotong royong untuk membeli pompa air yang selalu siap berfungsi menyalurkan air dari sungai penampung untuk disalurkan ke bendungan sungai banjir kanal yang menuju ke laut.
Hal yang sama tentunya bisa diterapkan pada sungai banjir kanal baik yang sudah ada di Barat mau pun di Timur, dilakukan peninggian dinding penahan banjir seperti dam pada salah satu tepi sungai minimal 150 cm dari muka jalan raya (bisa juga disesuaikan dengan kondisi peil banjir besar yang lalu), di sepanjang aliran sungai banjir kanal yang menuju ke laut. Tentunya hal ini harus dilengkapi dengan keberadaan sungai pembagi dan penampung di sepanjang tepi Sungai utama banjir kanal. Dan yang paling penting disediakan pompa air yang selalu siap dalam kondisi prima untuk menyalurkan ke Sungai utama banjir kanal dan dalam jumlah yang sangat memadai disesuaikan dengan jumnlah kebutuhan di lapangan.
Belajar dari pengalaman Negara Belanda, kita pun bisa mulai menerapkan pemasangan dam (bendungan) disepanjang pantai utara Jakarta untuk mengimbangi dinding dam tepi sungai pada KBB mau pun KBT. Hal ini juga diperlukan sebagai antisipasi menghadapi kenaikan peil muka air laut akibat mencairnya es di kutub utara dan selatan yang akan menjadi kenyataan jika warga Bumi kurang peduli pada bahaya Pemanasan Global (Baca juga: Indonesia Di Ambang Bencana Akibat Pemanasan Global).